Langsung ke konten utama

Tren Pendidikan Era Milenial


Zaman berubah. Era milenial namanya. Generasinya ditandai oleh peningkatan penggunaan dan keakraban dengan komunikasi dan media teknologi digital. Gawai di tangan. Pengetahuan mudah di dapat, ruang obrolan bertambah luas, tanpa sekat dan tanpa batas. Inilah kompetitor guru saat ini. Kompetitor yang sangat serius. Selalu meng-update diri, dengan sangat pesat.
 
Mari kita proyeksikan pendidikan di masa depan, berdasarkan fenomena kekinian. Karena generasi yang dididik hari ini akan hidup di masa depan.  Sesuatu yang relevan di hari ini, mungkin akan usang di masa depan. Bisa jadi, bila hari ini sekolah keliru ajar. Lahirlah generasi pengekor, bukan ‘pemimpin barisan’.

Berdasarkan data Indonesia Digital Landscape 2018, yang dirilis pada bulan Januari 2018, dari total Populasi penduduk yang 265 juta jiwa, pemilik Unique Mobile User adalah 178 juta jiwa (67 %), Internet Users 132,7 Juta Jiwa (50 %) dan Active Social Media Users 130 juta jiwa (49 %). Dan dari pengguna internet itu, 91 %  adalah pengguna Mobile Phone, 60 % Smart Phone, hanya 22 % saja yang menggunakan Komputer Desktop atau Laptop. Artinya, separuh penduduk Indonesia saat ini sudah terjangkau internet dan pengguna media sosial aktif, dengan sebagian besar menggunakan telepon genggam. Data pada Januari 2018 ini melonjak 20-30% dibanding bulan Januari tahun 2017, dan diprediksi akan terus meningkat di tahun  berikutnya.

Dengan melihat polanya, maka di masa depan, penggunaan teknologi/robot atau kecerdasan artifisial berbasis internet non tenaga manusia akan menjadi pilihan. Efeknya, sangat dimungkinkan, belajar  tak lagi memerlukan sosok yang bernama guru. Karena itu, guru harus ekstra kreatif mencari cara agar di masa depan, peran guru tak dapat tergantikan oleh robot.

Bila pendidikan itu, dimensinya adalah transfer pengetahuan (kognisi), transformasi sikap/akhlak (afeksi), dan melatih keterampilan (psikomotor). Maka, teknologi/robot akan mengalahkan guru soal transfer pengetahuan.  Search Engine atau mesin pencari di internet akan menjadi ‘guru idola’ bagi siswa. Bahkan mungkin mengantarkannya hingga menjadi sarjana.

Seorang  Sensei Aikido, Ueshiba mengatakan, "Pengajaran ilmu pengetahuan memang penting, berguna bagi kemajuan kehidupan. Tapi pelatihan moral dan belas kasih terhadap hati nurani manusia (value) jauh lebih penting, karena ia mampu menjaga keberlangsungan kehidupan di bumi ini." Inilah yang disebut anggukan universal, dari kacamata horizontal  (humanity). Bila ditarik ke vertikal, sebagai manifestasi iman dan akidah (faith and believe) tentu akan menjadi lebih dahsyat lagi. Karena akhlak yang dipraktikkan adalah aksi tulus tanpa mengharapkan imbalan manusia selain ridho Allah SWT, dalam kerangka besar menjadi pemimpin peradaban di alam semesta. Di wilayah inilah guru berperan, tak bisa tergantikan oleh robot.

Pertanyaannya, bagaimana bentuk pembelajaran penanaman akhlak (value)  yang ‘guru banget’ dan bukan ‘robot banget’ di masa depan?  Sebab, sekali lagi, jika nilai-nilai akhlak itu disampaikan layaknya sebagai pengetahuan (knowledge), maka peran itu dengan mudah dimainkan oleh robot. Kalau sekedar tahu (knowing),  maka semua orang sudah tahu atau gampang untuk cari tahu. Bahkan murid bisa jadi lebih tahu dari guru. Kunci persoalannya adalah pada internalisasi. Bagaimana sebuah nilai mampu terinternalisasi dalam diri siswa, sehingga ilmu yang diterima sama dengan akhlaknya.  Sebab, buah ilmu yang sesungguhnya adalah akhlak/adab. Bukan pada gawainya, tapi orang di belakang gawai.

Metode yang ‘guru banget’  itu ternyata bukan menceramahi/mengkuliahi (lecturing), dan bukan juga dengan membaca (reading), apalagi yang dibaca hanya buku pelajaran. Karena penelitian lawas di tahun 1969 (Learning Pyramid : Average Retention Rate) sudah membuktikan, bahwa Lecturing itu hanya 5 persen efektifnya, dan Reading hanya 10 persen saja.  Bahkan melihat slide atau audio visual dengan LCD atau interactive board pun hanya 20 % efektif. Mengapa? Karena kadar keaktifan siswa yang sedikit. Lagi pula, guru tak boleh mati gaya saat LCD mati, siswa tak boleh mati kutu saat dipisahkan dari gawainya.

Cara yang ‘guru banget’ itu ternyata adalah pendekatan pembelajaran berbasis pengalaman. Melalui metode ini, siswa sebagai subyek diajak melakukan beragam kegiatan, baik di sekolah maupun luar sekolah. Siswa lebih didekatkan pada kehidupan dan alam. Inilah yang disebut dengan Belajar Bersama Alam. Belajar bersama alam menjadi kesemestian, karena tidak mungkin beroleh peng(alam)an tanpa ada aktivitas yang bersentuhan langsung dengan alam. Dengan banyak ragam kegiatan, maka pembelajaran pun berlangsung secara aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Lebih dari sekedar beroleh informasi dan pengetahuan, anak-anak juga akan memperoleh pemahaman/pemaknaan dan kekayaan pengalaman. Pemaknaan yang didapat lebih awet karena melalui proses discovery bukan doktrinasi. Di sini, ada proses Practice by Doing dan Teaching Others, yang dalam perspektif Learning Pyramid merupakan pendekatan paling efektif yaitu 75 dan 90 persen.

Belajar bersama alam ini menurut Suhendi & Murdiani (2012)  bercirikan 5 hal. Pertama, belajar menggunakan potensi sumber daya alam . Kedua, menghargai culture atau kearifan lokal (local wisdom). Ketiga, belajar dengan  eksplorasi.  Keempat, belajar dengan eksperimen. Dan kelima,  melakukan outing atau fieldtrip

Sekolah yang menerapkan belajar bersama alam mensyaratkan lingkungan sekolah  yang bersih dan hijau. Potensi sekolah ini dikembangkan menjadi sebuah Greenlab. Bentuknya bisa berwujud kebun sekolah, komposting  dan ternak/budidaya atau Permaculture. Perawatannya melibatkan seluruh warga sekolah. Dari Greenlab itu, lahirlah gerakan Konservasi, sebuah gerakan yang melindungi keanekaragaman hayati dan penyelamatan lingkungan. Seluruh potensi warga sekolah dicurahkan untuk Insitu Development, yaitu bagaimana sekolah mengangkat dan mengembangkan sumber daya dan potensi lokal. Sehingga karakteristik pembelajarannya menjadi sangat unik, menyesuaikan karakter lingkungannya; berbasis lingkungan desa atau perkotaan, di sekitar hutan, gunung, atau di sekitar pantai.
Dari ruang lingkup laboratorium alamnya yang luas itu, sekolah secara otomatis membuka pintu gerbangnya terhadap keterlibatan masyarakat. Lagipula, pendidikan holistik melibatkan tiga domain : rumah-sekolah-lingkungan. Lahirlah apa yang disebut dengan komunitas pembelajar.  Komunitas pembelajar ini berisi interaksi belajar warga sekolah  dan masyarakat di sekitarnya.  Warga membuka diri bilamana ada siswa yang hendak magang atau Live in, misalnya. Dan sebaliknya, warga pun dapat mengakses potensi yang dimiliki sekolah seperti perpustakaan (literasi), hasil greenlab  atau guru-gurunya sebagai narasumber.

Hubungan antara sekolah dan masyarakat dalam komunitas belajar ini ibarat orang mau foto selfie atau wefie. Masyarakat akan berusaha mematutkan diri  karena tahu segala gerak-gerik mereka sedang diobservasi oleh para pelajar. Sebagai  orang dewasa tentu mereka ingin menampilkan sistem kemasyarakatan yang bisa diteladani anak-anak.  Dan sebaliknya, para pelajar juga mematutkan diri agar pantas menjadi bagian dari warga yang baik. Setelah itu, cekrek, barulah mereka berfoto bersama. Sebuah keharmonisan tercipta.

Jika misi pendidikan yang besar ini, dipahami oleh siswa dan guru, bahwa mereka sedang dididik/mendidik untuk menjadi manusia seutuhnya dan menjadi warga negara yang baik, bahkan menjadi warga dunia yang beradab, atau menjadi hamba Allah yang tunduk, maka tidak akan ada murid yang tega hati mencelakai guru atau sebaliknya.


Pembelajaran bersama alam ini, memiliki kemanfaatan yang tidak hanya berhenti di dinding-dinding kelas, melainkan juga hingga eksistensi sebuah bangsa. Hanya guru yang manusia, bukan mesin yang dapat mendidik nilai (value) menjadi sebuah jati diri bangsa. Narasi besarnya bukan pada menjadi bangsa yang berteknologi (the gun), tapi mendidik manusia behind the gun. Dengan atau tanpa teknologi, manusia unggul akan tetap bisa survive.  Mesin/teknologi akan menjadi seonggok benda mati pada kondisi dengan ketiadaan energi, listrik dan sinyal.

Jadi, sekolah perlu mengajarkan keterampilan hidup dasar yang ramah alam : survival, menangkap ikan, berburu, membaca mata angin, bertanam, memanfaatkan energi alternatif, dan lifeskill lainnya  termasuk 3 keterampilan yang disunnahkan (berkuda, memanah, berenang). Inilah yang akan menjadi concern  para pendidik dan pemimpin suatu bangsa di masa depan. Ketika teknologi telah menjadi barang yang murah, maka lifeskill akan menjadi barang yang mahal.

Kompetisi sesungguhnya di masa depan adalah kompetisi sumber daya manusia. Manusia yang berdaya, akan mampu menguasai atau mengelola sumber daya alam, walaupun sumber daya alam itu tidak ada di negaranya.  Dan manusia yang tak berdaya, adalah manusia yang tak mampu menjaga sumber daya alamnya, salah satu sebabnya karena salah arah terhipnotis kemajuan teknologi bernama mesin, robot dan internet.

Penulis : Doni Riadi
Guru Sekolah Alam Ar-Ridho, Semarang
Pegiat Komunitas Wedangjae

(dimuat di harian Wawasan, 23 Februari 2018)

Komentar

Populer

Mengenal Benturan Peradaban : Sebuah Pengantar

Apa perbedaan ideologi dengan peradaban ? Bagaimana pengaruhnya terhadap tatanan global dunia? Dimanakah posisi ideologi dan peradaban dalam gerakan mahasiswa ? Adalah pertanyaan fundamental yang layak dipahami oleh seorang aktivis gerakan mahasiswa muslim. Yang jelas, setelah blok komunis runtuh pada kurun waktu 1980-an, maka perbincangan tentang ideologis dianggap sudah selesai. Para pemikir kemudian kemudian menemukan cara pandang baru yang lebih komprehensif yaitu peradaban. Dalam tataran lokal masional, friksi diantara tiga ideologi besar --nasionalis, agama (Islam), dan komunis—tidak lagi menarik dibicarakan dibanding dengan pembicaraan seputar peradaban barat, Islam, dan konfusian. Tulisan berikut ini bukanlah sebuah analisis orisinil penyusun, tetapi kumpulan tulisan dari beberapa penulis dan pengamat peradaban yang dimuat dimedia massa, baik berupa artikel, resensi, maupun kutipan-kutipan dari esai ilmiah populer. Dengan harapan, dapat digunakan sebagai bahan diskusi yang

Award dari Majalah SWA

Award dari SWA Kliping majalah SWA edisi 3 NOvember 2008 , saat bersama temen-temen di komunitas penulis, Komunitas Wedangjae, mendapat anugerah Award sebagai komunitas terbaik kedua Paling Berkontribusi aspek Kebangkitan Bangsa. Survei dilakukan oleh Prasetya Mulia Bussiness School . Piagamnya, berpigura, sampe dirumah kira-kira3 minggu kemudian.    Kalimatnya : Certify that KOmunitas wedangjae who Construct Inspiration of Society. (alhamdulillah) . Tampak dalam foto, 3 pegiat  Wedangjae : Joko Kristiyanto, Edhi Prayitno Ighe, Doni Riadi

Milestone Wedangjae Online

Assalamu'alaikum Wr.Wb, Ini adalah sebuah milestone atau sebuah tonggak baru atau Nol Kilometer bagi Komunitas Wedangjae online. Setelah didirikan tahun 2002 dan memiliki web untuk pertama kali tahun 2003 di Geocities (free) menggunakan Dreamweaver, Flash, dan Frontpage, hingga mengalami pasang surut dengan web berbasis CMS berdomain dotcom (2006-2010) dan dotnet (2010-2017), kini Wedangjae hadir kembali dalam bentuk yang lebih praktis, menggunakan blog engine sebagai 'angkringan'-nya. Sebagian tulisan adalah arsip digital para pegiatnya atau kegiatan yang pernah dilakukan Wedangjae, sehingga tanggal posting sebelum Maret 2018. Sebagian yang lain adalah karya terbaru di awal-awal tahun 2018. Semoga bermanfaat. Wassalamualaikum Wr.Wb.