Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2008

Memilih Caleg Peduli Lingkungan

Rusaknya lingkungan hanya akan mewariskan beban sebuah bangsa karena lingkungan yang rusak tidak dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan generasi mendatang. Semakin ironi bila kerusakan lingkungan justru akibat rapuhnya mental para elite politik. Terkait hal itu, Ullrich Fichtner mengajukan relasi antara politik dan lingkungan dalam der Spiegel Agustus 2008 untuk memahami rusaknya lingkungan Cina menjelang olimpiade. Pertama, kepadatan penduduk yang identik dengan produksi sampah yang sangat besar. Kedua, kondisi peraturan lingkungan yang mudah menguap di celah-celah ruwetnya birokrasi. Ketiga, pemilik perusahaan yang lebih senang membayar penalti yang jauh lebih murah ketimbang investasi teknologi ramah lingkungan. Keempat, politikus yang senang gratifikasi ketimbang membuat undang-undang lingkungan yang kuat. Pandangan terakhir kiranya perlu digarisbawahi untuk berbagai kasus perusakan lingkungan di Indonesia. Sebagai contoh, kasus Al Amin dan Azirwan untuk memuluskan perubahan

Eskul Jurnalistik Berbasis Kecerdasan Majemuk

“Menulis itu gampang.” Sungguhkah? Ya, tentu saja. Sebab, menulis sebenarnya cuma kegiatan memindahkan saja pikiran yang ada di kepala ke atas kertas atau monitor. Selama akal masih mampu berpikir berarti selama itu pula kita akan bisa menulis. Masalah sesungguhnya bukan pada bisa atau tidak bisa, tapi lebih pada kekuatan political will alias niat. Sebagian orang menyebutnya dengan mood. Jika kita seorang guru, pendamping, atau pembina dari aktivitas menulis khususnya ekstrakurikuler jurnalistik (ada juga yang menamai : Klub Menulis, Writing Club, Eskul Penulisan, dan Eskul Creative Writing), maka inilah yang menjadi brainstorming pertama saat kelas menulis di buka. Kita sebaiknya menggunakan paradigma terbalik saat berbicara tentang mood dan ide. Mengutip Inspiring Words for Writers-nya Fauzil Adhim (2005), bahwa ketika banyak orang menunggu mood untuk menulis, maka bagi penulis sejati, mood untuk menulis itu justru bangkit sendiri karena kuatnya keinginan untuk meny

PNPM dan Kepedulian Masyarakat

Cerita ini berawal dari pekerjaanku sebagai pendamping kelurahan dari sebuah program pemerintah bernama P2KP. Sekarang program tersebut melebur menjadi PNPM-Mandiri Perkotaan. Kebetulan aku ditempatkan di tim PAKET. sekedar info saja, PAKET (Program Kemiskinan Terpadu), merupakan dana hibah yang dikucurkan APBN dengan disertai dana dampingan dari stakeholders di daerah (APBN, Dinas dll) -yang bikin ribut di Semarang -.  *** DI Kendal tahun ini mendapat dana 2,5 M dari APBN dan dampingan 2,5 M dari APBD dan masyarakat.. ..Oh ya dana PAKET APBN sesuai peruntukkannya sebagai dana stimulan pembangunan di daerah. artinya ada persentase dana swadaya yang harus disediakan masyarakat dan desa untuk menunjang pembangunan di desa tersebut. Singkat cerita, pengajuan tahun ini dari 23 desa di Kabupaten Kendal hampir 100 % mengajukan rehab rumah diantara 3 proposal yang diajukan desa. sebenarnya capek juga harus mendampingi masyarakat di 23 desa, dari wilayah bukit seperti desa Su

Mereposisi PKL dalam Ruang Publik

Persoalan utama setiap kota saat ini tidak bergeser jauh dari permasalahan penataan ruang publik dan pedagang kaki lima (PKL). Meskipun komunitas PKL seringkali menjadi dagangan politik yang aduhai saat kampanye, namun dalam tindak lanjut penanganannya, keberadaan PKL selalu memunculkan permasalahan baru. Jika dibiarkan, populasinya akan berkembang dan mengganggu kenyamanan publik, namun jika dilarang akan membawa ekses sosial berkepanjangan. Inilah wajah khas kota dari negeri yang sedang berbenah. PKL selalu menempati areal-areal ruang publik, yang seharusnya memang murni untuk kepentingan publik. Di Semarang, kita bisa melihat, betapa sulitnya berjalan kaki di trotoar jalan Pandanaran. Selain trotoar yang sempit, keberadaan trotoar itupun masih diganggu keberadaan PKL. Belum lagi sejumlah jalan protokol lainnya, seperti jalan Mataram, dr Sutomo (Kalisari), atau bahkan yang tidak disediakan ruang bagi pejalan kaki, semacam di jalan Fatmawati, Tentara Pelajar, dan masih

Pemuda dan Pendidikan yang Membebaskan

“Hingga kelapa ini tumbuh dan berbuah, kita akan berbuat banyak” Terdengar sedikit heroik, tapi itulah yang dikatakan oleh Bahruddin saat  menanam tunas kelapa yang menandai lahirnya sebuah sekolah alternatif  bernama SMP Qaryah Thayyibah (Q-Tha). Pemuda itu baru saja usai rembugan dengan sekitar 30 warga desa Kalibening-Salatiga. Tidak sampai separuh dari mereka yang kemudian mempercayai ide Bahruddin dan mau menyerahkan anaknya menjadi murid SMP Q-Tha. Tercatat, hanya ada 12 orang murid angkatan pertama mereka. Termasuk anak Bahruddin sendiri yang ditariknya dari sebuah sekolah negeri. Itu adalah penggalan kisah 6 tahun lalu, saat warga desa Kalibening mengalami kesulitan massal periodik. Yaitu saat masa pendaftaran sekolah atau siswa baru (PSB) dimulai. Mahalnya biaya di sekolah lanjutan plus biaya transportasi harian karena jauhnya jarak rumah dan sekolah di kota, membuat Bahruddin mencetuskan ide untuk mendirikan sekolah sendiri, di desa mereka.  Sebuah sekolah alternatif,  b