“Ayo menulis…”!. Nampaknya, itulah spirit yang hendak disampaikan oleh
panitia kepada para kader KAMMI. Sabtu (6/5) dan Ahad pagi (7/5) lalu. Puluhan aktivis KAMMI ,khususnya di lingkungan Komisariat Fakuktas
Teknik UNDIP mengikuti Pelatihan Jurnalistik Tingkat Dasar.
Pelatihan menulis itu digelar di ruang seminar Perencanaan Wilyah Kota UNDIP, dengan menghadirkan beberapa pembicara. Tiga diantaranya adalah pegiat Komunitas Wedangjae, yaitu : Doni Riadi, Imam Mardjuki dan Agung Setia Bakti. Ketiganya membawakan tema Media Komunitas, Berdakwah Melalui Media, dan Public Relations (Kehumasan).
Berikut ini tulisan singkat dari Doni Riadi :
Berlatih Menulis Melalui Media Komunitas
Menulis adalah pengabadian ide dan pemikiran. Mesti penulisnya telah berkalang tanah, tetapi ide dan kekuatan pemikirannyaa tidak akan ikut terkubur bersama jasadnya. Banyak sudah pemikiran yang jauh lebih menggema setelah kematian para penulisnya.
Dan, bagi aktivis kemahasiswaan, menulis adalah suatu kesemestian. Ini karena karena mereka memiliki akses informasi lebih eksklusif, interaksi dengan dunia sosial politik lebih kaya, dan ide atau sikap yang lebih tegas terhadap suatu isu atau persoalan, dibanding mahasiswa lainnya. Menulis akan membuat ide dan diri mereka tetap eksis, tidak hanya saat masih menjabat dalam organisasi tetapi juga saat sudah purna tugas memasuki dunia paskakampus.
Dengan kata lain, seorang aktivis mahasiswa mempunyai peluang lebih besar untuk mampu menjadi penulis atau belajar menulis, dengan karakter tulisan yang khas pergerakan. Media massa adalah mitra dan juga wahana untuk menampung tulisan (baca : ide). Sementara media komunitas, adalah media antara. Dengannya kita bisa menjadikannya sebagai ajang berlatih menulis. Tidak itu saja. Kita juga bisa memanfaatkannya sebagai alat untuk mengukuhkan ‘esprite de corps’ atau solidasi kader, penyampaian informasi dan alat komunikasi. Pendeknya, media komunitas atau media internal dapa menjadi salah satu tolok ukur laju roda suatu organisasi.
Sebenarnya untuk meluncurkan sebuah media komunitas tidaklah sulit. Yang dibutuhkan hanyalah tiga hal saja. Satu, sebuah tim kecil yang berkompten. Dua, tekad yang membaja, dan ketiga dukungan struktural. Tim kecil bertugas di wilayah konten media dan pengumpulan dana, sementara dukungan struktural berkaitan dengan distribusi atau pengguna media. karena sifatnya komunitas/internal, maka prioritas pembacanya adalah member atau anggota organisasi.
Dan tekad, adalah modal abstrak yang sangat penting dimiliki oleh para penggerak media komunitas ini. Dengan tekad atau semangat yang selalu terjaga, maka kesulitan maupun kendala yang dihadapi –biasanya klasik : dana– akan dapat teratasi.
Jadi, media menulis sangatlah banyak. Jika media massa publik belum menjadi sasaran utama, kenapa kita tidak mencobanya di media kita sendiri. Buletin, mading, newsletter, Majalah, bahkan yang lagi marak saat ini, Blogs. Intinya, sebuah langkah besar selalu dimulai dari langkah kecil. Berlatih menulis dari hal kecil, dengan media kecil adalah awal yang baik menuju tulisan yang ‘besar’. Yang penting, mau apa nggak…gitu kan.
Pelatihan menulis itu digelar di ruang seminar Perencanaan Wilyah Kota UNDIP, dengan menghadirkan beberapa pembicara. Tiga diantaranya adalah pegiat Komunitas Wedangjae, yaitu : Doni Riadi, Imam Mardjuki dan Agung Setia Bakti. Ketiganya membawakan tema Media Komunitas, Berdakwah Melalui Media, dan Public Relations (Kehumasan).
Berikut ini tulisan singkat dari Doni Riadi :
Berlatih Menulis Melalui Media Komunitas
Menulis adalah pengabadian ide dan pemikiran. Mesti penulisnya telah berkalang tanah, tetapi ide dan kekuatan pemikirannyaa tidak akan ikut terkubur bersama jasadnya. Banyak sudah pemikiran yang jauh lebih menggema setelah kematian para penulisnya.
Dan, bagi aktivis kemahasiswaan, menulis adalah suatu kesemestian. Ini karena karena mereka memiliki akses informasi lebih eksklusif, interaksi dengan dunia sosial politik lebih kaya, dan ide atau sikap yang lebih tegas terhadap suatu isu atau persoalan, dibanding mahasiswa lainnya. Menulis akan membuat ide dan diri mereka tetap eksis, tidak hanya saat masih menjabat dalam organisasi tetapi juga saat sudah purna tugas memasuki dunia paskakampus.
Dengan kata lain, seorang aktivis mahasiswa mempunyai peluang lebih besar untuk mampu menjadi penulis atau belajar menulis, dengan karakter tulisan yang khas pergerakan. Media massa adalah mitra dan juga wahana untuk menampung tulisan (baca : ide). Sementara media komunitas, adalah media antara. Dengannya kita bisa menjadikannya sebagai ajang berlatih menulis. Tidak itu saja. Kita juga bisa memanfaatkannya sebagai alat untuk mengukuhkan ‘esprite de corps’ atau solidasi kader, penyampaian informasi dan alat komunikasi. Pendeknya, media komunitas atau media internal dapa menjadi salah satu tolok ukur laju roda suatu organisasi.
Sebenarnya untuk meluncurkan sebuah media komunitas tidaklah sulit. Yang dibutuhkan hanyalah tiga hal saja. Satu, sebuah tim kecil yang berkompten. Dua, tekad yang membaja, dan ketiga dukungan struktural. Tim kecil bertugas di wilayah konten media dan pengumpulan dana, sementara dukungan struktural berkaitan dengan distribusi atau pengguna media. karena sifatnya komunitas/internal, maka prioritas pembacanya adalah member atau anggota organisasi.
Dan tekad, adalah modal abstrak yang sangat penting dimiliki oleh para penggerak media komunitas ini. Dengan tekad atau semangat yang selalu terjaga, maka kesulitan maupun kendala yang dihadapi –biasanya klasik : dana– akan dapat teratasi.
Jadi, media menulis sangatlah banyak. Jika media massa publik belum menjadi sasaran utama, kenapa kita tidak mencobanya di media kita sendiri. Buletin, mading, newsletter, Majalah, bahkan yang lagi marak saat ini, Blogs. Intinya, sebuah langkah besar selalu dimulai dari langkah kecil. Berlatih menulis dari hal kecil, dengan media kecil adalah awal yang baik menuju tulisan yang ‘besar’. Yang penting, mau apa nggak…gitu kan.
Komentar
Posting Komentar